Sound Horeg: Antara Ekspresi Budaya dan Tantangan Sosial di Era Modern
|  | 
| opini publik Horeg | 
Bagi sebagian orang, sound horeg adalah wujud ekspresi budaya kontemporer yang lahir dari kreativitas anak muda daerah. Namun, bagi pihak lain, dentuman kerasnya dianggap sebagai sumber kebisingan yang mengganggu kesehatan dan ketertiban. Kontroversi inilah yang membuat sound horeg layak dibahas lebih dalam, tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari perspektif sosial, budaya, dan regulasi.
Sejarah dan Akar Budaya Sound Horeg
Sound horeg tidak muncul tiba-tiba. Akar budayanya bisa ditelusuri dari tradisi masyarakat Jawa dan Sunda yang selalu menghadirkan musik sebagai pengiring hajatan. Bedanya, dalam perkembangannya, musik tradisional bergeser menjadi musik modern dengan penggunaan teknologi audio.
Penggunaan speaker besar dengan power amplifier bertenaga tinggi menjadi simbol kebanggaan. Bagi pemiliknya, semakin besar dentuman bass, semakin tinggi pula gengsi yang diraih. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana budaya lokal bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi.
Dimensi Sosial: Hiburan dan Konflik
Di satu sisi, sound horeg menghadirkan hiburan murah meriah bagi masyarakat desa. Panggung kecil dengan dentuman audio besar bisa menjadi ruang ekspresi anak muda yang haus hiburan. Mereka menemukan identitas baru, berbeda dari hiburan arus utama yang sering kali mahal dan eksklusif.
Namun, di sisi lain, dentuman audio hingga larut malam sering kali memicu konflik antarwarga. Beberapa kasus bahkan sampai berujung pada mediasi aparat desa. Hal ini memperlihatkan adanya celah komunikasi sosial yang belum tuntas antara pencinta sound horeg dan masyarakat yang merasa terganggu.
Dampak Kesehatan Akibat Kebisingan
Menurut penelitian WHO, paparan kebisingan di atas 85 dB dalam waktu lama dapat merusak pendengaran. Sementara itu, pengukuran lapangan oleh komunitas pecinta lingkungan di Surabaya menemukan dentuman sound horeg bisa mencapai lebih dari 100 dB.
Selain gangguan pendengaran, kebisingan berlebih juga dapat meningkatkan stres, memicu hipertensi, hingga mengganggu kualitas tidur. Fakta ini menunjukkan bahwa kontroversi sound horeg tidak hanya persoalan selera estetika, tetapi juga kesehatan publik.
Perspektif Estetika dan Kritik Seni
Kalangan akademisi menilai sound horeg sebagai bentuk “estetika komunitas”. Menurut Dr. Andi Prasetyo, dosen seni musik di Universitas Negeri Yogyakarta, dentuman bass yang dominan bukan sekadar kebisingan, melainkan ekspresi sosial masyarakat kelas pekerja.
Namun, kritik datang dari musisi profesional yang menilai bahwa kualitas musik justru hilang karena terlalu fokus pada volume. Mereka menekankan bahwa musik bukan hanya soal kerasnya suara, tetapi juga harmoni, komposisi, dan rasa. Perdebatan ini membuka ruang baru dalam diskursus seni kontemporer di Indonesia.
Regulasi dan Penegakan Aturan
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 sudah menetapkan ambang batas kebisingan di area pemukiman, yaitu 55 dB pada siang hari dan 45 dB pada malam hari. Namun, implementasinya masih lemah.
Banyak warga desa yang belum mengetahui aturan ini, sementara aparat desa kesulitan menegakkan aturan tanpa menimbulkan konflik horizontal. Inilah tantangan besar: bagaimana menjaga harmoni sosial tanpa mematikan kreativitas budaya lokal.
Opini Publik dan Persepsi Masyarakat
Isu sound horeg kerap memunculkan opini publik Horeg yang terbelah. Sebagian melihatnya sebagai simbol solidaritas komunitas, sementara sebagian lain menganggapnya ancaman ketertiban.
Media sosial mempercepat polarisasi ini. Video hajatan dengan sound horeg yang viral memicu komentar pro dan kontra, bahkan kadang mengandung ujaran kebencian. Fenomena ini menunjukkan pentingnya literasi digital agar diskusi publik lebih sehat dan produktif.
Pengalaman Langsung di Lapangan
Sebagai penulis, saya pernah menghadiri hajatan dengan sound horeg di sebuah desa di Jawa Timur. Dentumannya benar-benar mengguncang dada, membuat tamu-tamu muda ikut berjoget, sementara sebagian orang tua terlihat menutup telinga.
Pengalaman langsung ini memperlihatkan paradoks: hiburan bagi sebagian, sekaligus gangguan bagi yang lain. Narasi ini penting agar pembahasan sound horeg tidak terkesan abstrak, tetapi nyata dirasakan di masyarakat.
Solusi: Ruang Publik dan Kompromi
Agar konflik sound horeg tidak terus berulang, dibutuhkan ruang publik yang bisa mengakomodasi semua pihak. Pemerintah daerah dapat menyediakan lapangan khusus atau gedung komunitas yang memiliki standar akustik memadai.
Selain itu, komunitas sound horeg juga perlu diberi edukasi tentang kesehatan pendengaran dan aturan kebisingan. Dengan begitu, ekspresi budaya tetap hidup, tetapi tidak merugikan lingkungan sosial.