Aturan Lengkap Sound Horeg: Batas Kebisingan, Sanksi, dan Perspektif Hukum

aturan regional Horeg
aturan regional Horeg

Detikabar.com - Fenomena penggunaan sound horeg di berbagai wilayah Indonesia semakin ramai diperbincangkan. Tidak hanya karena suaranya yang keras dan mengganggu, tetapi juga karena aturan hukum yang kini semakin tegas mengaturnya. Bagi sebagian orang, sound horeg menjadi hiburan dan sarana ekspresi. Namun, bagi masyarakat luas, suara bising ini kerap menimbulkan keresahan.

Pemerintah daerah, terutama di Jawa Timur, telah menetapkan batas kebisingan resmi untuk menekan dampak negatif penggunaan sound horeg. Artikel ini akan membahas secara detail mengenai aturan, perspektif hukum, hingga dampak sosial yang muncul di masyarakat. Dengan informasi ini, pembaca bisa memahami secara lebih utuh bagaimana regulasi diberlakukan, mengapa aturan dibuat, serta konsekuensi yang dihadapi jika melanggar.

Lebih jauh, artikel ini juga menghadirkan pandangan pakar hukum, aparat kepolisian, serta masyarakat yang terdampak. Hal ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh sesuai prinsip Helpful Content dan memperkuat E-E-A-T (Experience, Expertise, Authoritativeness, Trustworthiness) dalam penyajian informasi.

Apa Itu Sound Horeg?

Sound horeg adalah istilah populer di kalangan masyarakat untuk menyebut sistem pengeras suara yang dipasang di kendaraan, terutama truk atau mobil bak terbuka, dengan volume sangat tinggi. Biasanya, sound horeg digunakan dalam acara hajatan, arak-arakan, hingga kontes audio jalanan.

Meski dianggap hiburan bagi sebagian kalangan, penggunaan sound horeg sering kali menimbulkan masalah sosial. Suara yang melebihi batas normal mengganggu pengguna jalan lain, warga sekitar, bahkan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan seperti sakit kepala hingga gangguan pendengaran.

Dasar Hukum Sound Horeg di Indonesia

Regulasi mengenai sound horeg sebenarnya tidak berdiri sendiri. Aturan ini merujuk pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan pentingnya menjaga kualitas udara, termasuk kebisingan. Selain itu, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga memberi landasan hukum mengenai keselamatan berkendara.

Khusus di Jawa Timur, pemerintah provinsi mengeluarkan aturan teknis yang menetapkan ambang batas kebisingan. Misalnya, penggunaan pengeras suara di area pemukiman tidak boleh melebihi angka tertentu dalam satuan desibel (dB). Aturan ini ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan hak masyarakat atas lingkungan yang nyaman.

Batas Kebisingan Resmi yang Ditetapkan

Salah satu poin penting dalam regulasi adalah batas kebisingan resmi. Berdasarkan Pergub Jawa Timur, ambang batas kebisingan ditentukan sesuai lokasi:

  • Pemukiman: maksimal 55 dB siang hari, 45 dB malam hari.

  • Area perdagangan: maksimal 70 dB.

  • Jalan raya: maksimal 65–70 dB tergantung jenis kendaraan.

Dengan angka ini, suara sound horeg yang kerap mencapai lebih dari 100 dB jelas melampaui ambang batas. Konsekuensinya, penggunaan sound horeg di jalan raya atau pemukiman bisa dianggap melanggar hukum dan berisiko terkena sanksi.

Sanksi Hukum Jika Melanggar

Sanksi bagi pengguna sound horeg tidak hanya berupa teguran. Berdasarkan UU Lalu Lintas dan aturan daerah, pelanggaran bisa dikenakan tilang, denda administratif, hingga penyitaan perangkat.

Menurut AKBP Andi Wijaya, Kasatlantas Polres Malang, penindakan akan dilakukan bertahap:

“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak hanya memikirkan hiburan semata. Batas kebisingan sudah ditetapkan, dan pelanggaran berulang bisa berujung pada sanksi lebih berat,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak hanya bersifat simbolis, melainkan serius untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan publik.

Perspektif Pakar Hukum

Pakar hukum tata negara, Dr. Budi Santoso, S.H., M.H., menegaskan bahwa kebijakan pembatasan sound horeg memiliki dasar hukum yang kuat.

“Kebisingan yang melebihi ambang batas resmi tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga bisa berdampak pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan menetapkan batas kebisingan sesuai kondisi wilayahnya,” jelasnya.

Dengan demikian, aturan ini tidak bisa dipandang hanya sebagai larangan sepihak, melainkan bagian dari perlindungan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan aman.

Dampak Sosial dan Kesehatan

Selain aspek hukum, penggunaan sound horeg yang berlebihan terbukti memberi dampak nyata bagi masyarakat:

  • Gangguan kesehatan: sakit kepala, sulit tidur, hingga risiko gangguan pendengaran permanen.

  • Konflik sosial: pertengkaran antarwarga akibat terganggu suara bising.

  • Keselamatan lalu lintas: pengendara lain bisa kehilangan konsentrasi karena suara terlalu keras.

Data dari WHO menunjukkan bahwa kebisingan di atas 85 dB dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pendengaran. Fakta ini memperkuat urgensi regulasi sound horeg.

Reaksi Masyarakat Terhadap Aturan

Banyak warga menyambut baik adanya aturan ini karena merasa lebih tenang. Namun, ada pula kalangan penggemar sound horeg yang menilai aturan tersebut membatasi ekspresi mereka.

Salah seorang warga Malang, Sutrisno (40), mengaku lebih bisa beristirahat setelah ada razia sound horeg. “Dulu tiap malam selalu ada truk lewat dengan suara keras. Sekarang sudah jarang, tidur jadi lebih nyenyak,” ujarnya.

Aturan Regional Horeg

Selain di Jawa Timur, sejumlah daerah lain juga mulai menyiapkan aturan serupa. Pemkab Malang, misalnya, sedang merancang peraturan turunan untuk memperkuat Pergub. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam menertibkan penggunaan sound horeg.

Bagi masyarakat, memahami aturan regional Horeg sangat penting. Sebab, aturan di setiap daerah bisa berbeda sesuai kebutuhan lokal. Dengan begitu, pengendara tidak bisa serta-merta menggunakan sound horeg di mana saja tanpa mempertimbangkan aturan setempat.

Share

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel