Fenomena Sound Horeg: Antara Hiburan Rakyat dan Dampak Sosial

parade sound Horeg
parade sound Horeg

Detikabar.com - Musik jalanan dan pesta rakyat di Indonesia tidak bisa lepas dari fenomena sound horeg. Istilah ini kini semakin populer, khususnya ketika masyarakat merayakan momen besar seperti HUT RI atau pesta desa. Kehadiran sound horeg memang menjadi daya tarik tersendiri karena menghadirkan suasana meriah, riuh, dan penuh energi. Namun di balik itu semua, ada juga kontroversi terkait dampak sosial dan ketertiban lingkungan.

Fenomena ini menarik perhatian banyak kalangan, mulai dari akademisi, media, hingga masyarakat umum. Google Trends mencatat peningkatan pencarian kata “sound horeg” setiap bulan Agustus, seiring ramainya perayaan kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat ingin memahami lebih jauh, apakah fenomena ini sekadar hiburan rakyat, atau justru menimbulkan masalah sosial.

Dalam artikel ini, kita akan membahas sound horeg dari berbagai sisi: sejarah kemunculan, dampak sosial, pro-kontra, hingga bagaimana masyarakat menanggapi fenomena ini di era digital. Tujuannya agar pembaca mendapatkan gambaran komprehensif, bukan hanya opini sepihak.

Apa Itu Sound Horeg?

Sound horeg biasanya merujuk pada penggunaan sound system berdaya besar di ruang publik, terutama dalam perayaan rakyat. Kata “horeg” sendiri berasal dari bahasa gaul yang menggambarkan suara keras, bising, bahkan “pecah” ketika didengar dalam jarak dekat. Fenomena ini identik dengan musik remix dangdut, koplo, hingga EDM yang diputar tanpa henti di jalan-jalan desa atau lapangan umum.

Fenomena ini populer di Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga beberapa wilayah Indonesia lainnya. Bagi sebagian masyarakat, sound horeg adalah bentuk ekspresi budaya dan cara menikmati kebersamaan. Namun bagi sebagian lain, fenomena ini dianggap mengganggu karena volumenya sangat tinggi, bahkan melewati batas kenyamanan.

Sejarah Singkat Kemunculan Sound Horeg

Awalnya, sound horeg hanya dikenal di kalangan penggemar musik jalanan. Sekitar akhir 2000-an, komunitas sound system rumahan berkembang menjadi kompetisi tidak resmi: siapa yang punya speaker paling besar dan suara paling kencang. Dari situlah istilah “horeg” lahir, menggambarkan suara yang “pecah” tapi dianggap seru oleh pendengarnya.

Seiring waktu, fenomena ini masuk ke dalam acara besar seperti karnaval, perayaan kemerdekaan, hingga hajatan desa. Bahkan, media sosial ikut memperluas popularitasnya karena video parade sound system sering viral di TikTok dan YouTube. Dengan begitu, sound horeg tidak lagi sekadar fenomena lokal, tapi menjadi bagian dari budaya populer.

Pro dan Kontra Sound Horeg

Fenomena ini menimbulkan perdebatan panjang.

Pihak yang pro berpendapat bahwa sound horeg:

  • Menjadi hiburan murah meriah bagi masyarakat desa.

  • Menghidupkan suasana pesta rakyat.

  • Menjadi ajang kreativitas anak muda di bidang musik dan teknologi audio.

Namun pihak kontra menilai sound horeg:

  • Mengganggu ketenangan warga sekitar, terutama lansia dan anak-anak.

  • Berpotensi menimbulkan keributan antarwarga.

  • Tidak ramah lingkungan karena polusi suara.

Beberapa daerah bahkan sudah mengeluarkan aturan pembatasan jam penggunaan sound system di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa meski sound horeg digemari, dampaknya juga tidak bisa diabaikan.

Perspektif Akademis terhadap Sound Horeg

Fenomena ini juga diteliti dalam ranah akademik. Sebuah jurnal di IJHESS (2022) menyoroti bagaimana sound horeg merefleksikan budaya populer sekaligus menciptakan ketegangan sosial. Analisis tersebut menegaskan bahwa sound horeg bukan sekadar hiburan, melainkan juga fenomena sosial yang memengaruhi interaksi antarwarga.

Dalam kacamata sosiologi, sound horeg adalah bentuk “kultur jalanan” yang mengekspresikan identitas komunitas. Sama seperti musik punk atau hip-hop yang lahir dari jalanan, sound horeg tumbuh dari ruang publik dan dipengaruhi kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Parade Sound Horeg dalam Perayaan HUT RI

Salah satu momen paling populer dari fenomena ini adalah parade sound Horeg dalam perayaan HUT RI di berbagai daerah. Di Malang misalnya, ratusan warga turun ke jalan membawa sound system dengan truk dan pikap. Suara musik menggema, penonton menari di sepanjang jalan, menciptakan suasana meriah seperti festival.

Namun, tidak jarang parade ini juga menimbulkan kerugian. Beberapa warga mengeluhkan kaca rumah retak akibat getaran, bahkan ada kasus keributan antarpenonton. Peristiwa ini kemudian memunculkan perdebatan di media sosial: apakah sound horeg layak disebut budaya positif, atau sebaliknya harus dibatasi.

Dampak Sosial Ekonomi Sound Horeg

Dari sisi ekonomi, sound horeg memberikan peluang usaha. Banyak penyedia jasa sewa sound system kebanjiran pesanan saat musim hajatan atau perayaan kemerdekaan. Bahkan, muncul bisnis kreatif seperti jasa DJ kampung dan penyewaan panggung mini.

Namun dari sisi sosial, masalah yang muncul juga signifikan. Polusi suara, gangguan ketertiban, hingga potensi konflik warga menjadi dampak nyata. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa paparan suara di atas 80 dB dalam waktu lama bisa mengganggu kesehatan pendengaran. Jika sound horeg tidak dikendalikan, dampaknya bisa serius.

Share

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel