Gelombang Penolakan Sound Horeg di Kediri: Suara Warga yang Tak Boleh Diabaikan
![]() |
protes warga Horeg |
Fenomena sound horeg yang semakin marak di sejumlah daerah, termasuk Kediri, memunculkan beragam reaksi. Awalnya, kehadiran sound system berdaya tinggi ini dianggap sekadar hiburan atau sarana ekspresi musik. Namun, semakin lama, dentuman yang ditimbulkan justru menimbulkan keresahan. Tidak sedikit warga yang mengeluh karena aktivitas sehari-hari terganggu, terutama saat malam hari ketika kebutuhan akan istirahat seharusnya menjadi prioritas.
Banyak keluarga menceritakan bahwa tidur mereka terganggu oleh suara keras yang menembus dinding rumah. Orang tua dengan anak kecil, hingga lansia yang membutuhkan ketenangan, merasa kesehatan mereka mulai terpengaruh. Cerita-cerita inilah yang membuat isu sound horeg menjadi lebih dari sekadar perdebatan teknis mengenai volume musik, melainkan masalah sosial yang nyata.
Intimidasi Terhadap Warga yang Menolak Sound Horeg
Di balik keresahan itu, muncul kisah yang lebih serius. Sejumlah warga yang berani menyuarakan penolakan justru mengaku mendapat intimidasi. Ada yang menerima pesan ancaman, ada pula yang merasa diperlakukan tidak adil di lingkungannya. Situasi ini memperlihatkan betapa isu sound horeg tidak hanya berdampak pada ketenangan, tetapi juga pada rasa aman masyarakat.
Pengakuan salah satu warga menunjukkan hal ini. Ia menceritakan bahwa setelah mengajukan keberatan kepada panitia acara, keluarganya mulai dikucilkan. Tekanan sosial ini membuat sebagian besar warga memilih diam, meskipun di hati mereka tetap merasa terganggu. Kondisi ini tentu berlawanan dengan semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat yang seharusnya dilindungi.
Perspektif Warga: Pengalaman Nyata di Lapangan
Mendengar langsung pengalaman warga membuat isu ini terasa lebih nyata. Seorang ibu rumah tangga mengungkapkan, “Suara dentuman itu benar-benar membuat anak saya sulit tidur. Bahkan setelah jendela ditutup rapat, bunyinya masih terasa di dalam kamar.” Sementara itu, seorang pedagang kecil di Kediri mengaku omzetnya turun karena pelanggan enggan mampir ketika suara musik terlalu keras di sekitar pasar.
Cerita lain datang dari seorang pemuda desa yang awalnya mendukung acara musik, namun kemudian berubah pikiran setelah melihat temannya jatuh sakit karena kurang tidur. Dari sini terlihat bahwa keresahan warga bukan sekadar asumsi, melainkan fakta yang muncul dari pengalaman sehari-hari.
Respon Aparat dan Pemerintah Daerah
Di tengah meningkatnya keluhan, aparat desa dan pemerintah daerah tidak bisa tinggal diam. Beberapa langkah mulai dilakukan, seperti membatasi jam penggunaan sound system, hingga memberikan sanksi kepada panitia acara yang melanggar aturan. Namun, implementasi di lapangan sering kali menghadapi kendala.
Ada aparat yang tegas menindak, tetapi ada pula yang memilih kompromi demi menjaga hubungan dengan komunitas tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadi celah, sehingga masalah sound horeg belum benar-benar selesai. Masyarakat berharap aturan bisa ditegakkan dengan adil, agar hak mereka untuk hidup tenang tetap terlindungi.
Dampak Kesehatan dan Lingkungan dari Sound Horeg
Selain masalah sosial, penggunaan sound horeg juga berdampak pada kesehatan dan lingkungan. Dari sisi medis, paparan suara bising dalam jangka waktu lama dapat memicu stres, gangguan tidur, hingga penurunan daya konsentrasi. Pada beberapa kasus, warga juga melaporkan keluhan sakit kepala berulang akibat intensitas suara yang terlalu tinggi.
Dari sisi lingkungan, getaran keras dapat mengganggu struktur bangunan, serta menurunkan kenyamanan ruang publik. Kawasan perumahan yang seharusnya menjadi tempat istirahat berubah menjadi area yang penuh kebisingan. Hal ini memperkuat alasan mengapa banyak pihak mendesak agar regulasi sound horeg lebih diperketat.
Dinamika Sosial: Antara Hiburan dan Ketenangan
Bagi sebagian kelompok, sound horeg dianggap sebagai bagian dari budaya hiburan yang perlu dihargai. Namun, bagi warga yang terdampak, fenomena ini justru menimbulkan penderitaan. Inilah dinamika sosial yang muncul: tarik-menarik antara keinginan mengekspresikan diri dan kebutuhan menjaga ketenangan bersama.
Di beberapa desa, sempat ada inisiatif dialog antara komunitas pecinta musik dan warga. Namun, hasilnya sering tidak berimbang karena kepentingan ekonomi dari acara besar lebih dominan dibandingkan kepentingan kesehatan masyarakat. Situasi ini memperlihatkan betapa pentingnya regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang konsisten.
Media dan Eksposur Publik terhadap Isu Sound Horeg
Peran media massa juga menjadi faktor penting dalam mendorong isu ini naik ke permukaan. Liputan dari berbagai portal berita arus utama membuat masyarakat lebih sadar bahwa keresahan ini tidak hanya dialami satu atau dua desa, melainkan fenomena luas di beberapa daerah.
Eksposur media juga mendorong pemerintah untuk lebih serius menanggapi keluhan warga. Semakin sering isu ini diberitakan, semakin besar pula kemungkinan regulasi baru diterapkan. Namun, di sisi lain, media juga perlu berhati-hati agar pemberitaan tetap berimbang, sehingga tidak memicu konflik baru di tengah masyarakat.
Protes Warga Horeg yang Semakin Meluas
Gelombang protes warga terhadap penggunaan sound horeg semakin meluas dari Kediri hingga daerah sekitarnya. Masyarakat turun ke jalan, menggelar spanduk, hingga menyuarakan aspirasi mereka melalui media sosial. Aksi ini menjadi bukti bahwa keresahan warga bukan sekadar wacana, melainkan sebuah gerakan sosial yang nyata.
Bagi warga, protes adalah satu-satunya cara agar suara mereka didengar. Namun, perjuangan ini tidak selalu mudah. Ada rasa takut terhadap intimidasi, ada pula kekhawatiran bahwa protes tidak akan direspons serius oleh pihak berwenang. Meski begitu, keberanian warga tetap menjadi simbol bahwa hak atas ketenangan harus diperjuangkan bersama.
Jalan Keluar: Mencari Titik Tengah yang Adil
Polemik sound horeg memang kompleks. Di satu sisi ada kebutuhan hiburan dan ekspresi seni, di sisi lain ada hak masyarakat untuk mendapatkan ketenangan. Jalan keluar yang paling bijak tentu bukan sekadar melarang atau membiarkan, tetapi menemukan titik tengah.
Misalnya, penggunaan sound system dengan batas desibel tertentu, penentuan jam tayang yang wajar, hingga pengaturan lokasi acara agar jauh dari kawasan pemukiman. Pendekatan dialog partisipatif juga penting, sehingga semua pihak merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dengan begitu, keresahan bisa berkurang tanpa harus mematikan kreativitas masyarakat.