Latar Belakang Larangan Sound Horeg
![]() |
polisi tindak Horeg |
Dalam beberapa bulan terakhir, isu larangan sound horeg menjadi sorotan media nasional. Dari terbitnya surat edaran pemerintah, protes warga, hingga langkah polisi tindak Horeg, semuanya menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa dianggap remeh. Pertanyaannya: mengapa sound horeg begitu kontroversial, dan apa dampak nyatanya bagi masyarakat?
Aturan Resmi tentang Sound Horeg
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang menegaskan pembatasan penggunaan sound horeg. SE ini mengatur agar penyelenggara acara, baik hajatan maupun karnaval, tidak menggunakan perangkat audio dengan kekuatan berlebihan. Aparat kepolisian diberi wewenang untuk menindak setiap pelanggaran.
Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol. Anwar Nasir, menegaskan bahwa larangan ini bukan sekadar imbauan. “Kami akan menindak tegas setiap pihak yang tetap menggunakan sound horeg. Hal ini demi menjaga kenyamanan warga serta mengurangi risiko kesehatan akibat kebisingan berlebih,” ujarnya.
Dampak Sosial Sound Horeg di Lingkungan Warga
Salah satu alasan larangan sound horeg adalah dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat. Banyak warga merasa terganggu karena acara dengan sound horeg sering berlangsung hingga larut malam. Budi Santoso (38), warga Malang, mengaku keluarganya sampai harus mengungsi ke rumah kerabat saat ada karnaval dengan sound horeg di dekat rumah. “Kuping rasanya berdengung terus, anak-anak jadi tidak bisa tidur,” katanya.
Gangguan semacam ini memperlihatkan bahwa sound horeg tidak hanya menimbulkan masalah teknis, tetapi juga menciptakan konflik sosial di lingkungan. Bahkan di beberapa desa, perdebatan antarwarga terjadi karena ada kelompok yang mendukung hiburan tersebut dan ada yang menolak keras.
Risiko Kesehatan dari Kebisingan Ekstrem
Dampak kesehatan dari penggunaan sound horeg tidak bisa dianggap enteng. Menurut dr. Rina Aditya, Sp.THT, paparan suara lebih dari 130 dB berpotensi merusak sel rambut halus di telinga. “Kerusakan ini bisa bersifat permanen. Efek jangka panjangnya termasuk tinnitus, gangguan pendengaran, dan kesulitan konsentrasi,” jelasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menegaskan bahwa paparan suara lebih dari 85 dB selama 8 jam saja sudah berisiko menyebabkan kerusakan pendengaran permanen. Jika level kebisingan mencapai 130 dB, risikonya berlipat ganda. Dengan demikian, penggunaan sound horeg bukan hanya isu kenyamanan, melainkan juga masalah kesehatan publik.
Perspektif Hukum: Izin dan Sanksi
Selain aspek sosial dan kesehatan, sound horeg juga sering menyalahi aturan perizinan. Banyak penyelenggara karnaval atau hajatan tidak mengurus izin resmi sebelum menggunakan perangkat tersebut. Polisi menilai hal ini sebagai pelanggaran, baik dari sisi ketertiban umum maupun hukum pidana ringan.
Kombes Pol. Anwar menegaskan, setiap acara dengan sound horeg tanpa izin akan langsung dibubarkan. Penyelenggara bahkan bisa dikenakan sanksi sesuai peraturan daerah yang berlaku. Langkah ini diambil agar tidak terjadi pembiaran yang bisa merugikan warga lebih luas.
Narasi Media dan Persepsi Publik
Media besar seperti Tempo, Detik, dan CNN Indonesia menyoroti isu sound horeg dari berbagai sudut pandang. Tempo menekankan pada keluarnya aturan resmi Pemprov Jatim. Detik menyoroti peristiwa nyata warga yang terpaksa mengungsi. CNN menggarisbawahi larangan resmi kepolisian. Liputan media ini memperkuat kesadaran publik bahwa sound horeg memang sudah masuk kategori masalah serius.
Namun, narasi publik tetap terbelah. Sebagian orang menganggap sound horeg sebagai bagian dari budaya hajatan modern yang perlu dilestarikan. Sementara kelompok lain menilai hiburan ini merusak kesehatan dan mengganggu ketertiban. Perdebatan inilah yang membuat isu sound horeg terus hangat.
Suara Warga dan Realita di Lapangan
Di lapangan, banyak cerita menarik yang memperlihatkan dampak nyata sound horeg. Misalnya, warga Desa Tanjungrejo yang mengaku sulit tidur berhari-hari karena dentuman bass dari sebuah pesta pernikahan. Ada pula orang tua yang khawatir anak mereka mengalami gangguan konsentrasi di sekolah akibat kurang istirahat.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa larangan sound horeg bukan sekadar kebijakan top-down. Larangan tersebut lahir dari keresahan nyata masyarakat yang ingin hidup lebih tenang.
Upaya Edukasi dan Solusi Alternatif
Selain penindakan, solusi jangka panjang perlu dipikirkan. Edukasi kepada penyelenggara hajatan menjadi kunci penting. Mereka perlu diberi pemahaman bahwa hiburan tidak harus selalu identik dengan suara keras. Alternatif seperti live music akustik, organ tunggal dengan volume moderat, atau sistem pengeras suara standar bisa tetap menghadirkan suasana meriah tanpa merugikan orang lain.
Pemerintah daerah bersama komunitas juga dapat membuat program “Hiburan Sehat Tanpa Horeg” untuk mengubah budaya masyarakat secara bertahap. Dengan demikian, warga tetap bisa menikmati hiburan tanpa harus berkonflik dengan lingkungan sekitar.
Polisi Tindak Horeg: Ketegasan Penegakan Aturan
Aparat kepolisian kini menunjukkan komitmennya untuk menertibkan penggunaan sound horeg. Dalam beberapa razia, polisi membubarkan acara dan menyita perangkat audio berdaya tinggi. Tindakan ini dilakukan demi memastikan aturan berjalan efektif.
Frasa polisi tindak Horeg bukan sekadar headline media, tetapi kenyataan di lapangan. Langkah tegas ini diharapkan bisa memberi efek jera bagi penyelenggara acara sekaligus memberikan rasa aman kepada masyarakat.