Fenomena Sound Horeg: Aturan Hukum, Dampak Kesehatan, dan Razia Polisi
|  | 
| razia sound Horeg | 
Dalam beberapa tahun terakhir, berita tentang razia sound horeg semakin marak. Aparat kepolisian di berbagai daerah melakukan penertiban untuk mengendalikan fenomena ini. Selain itu, lembaga kesehatan juga mulai memperingatkan dampak buruk paparan suara ekstrem terhadap pendengaran.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam fenomena sound horeg dari berbagai sisi: hukum, kesehatan, hingga aksi nyata aparat di lapangan.
Apa Itu Sound Horeg?
Sound horeg adalah istilah populer untuk menyebut sound system berdaya besar yang dipasang di kendaraan, terutama truk atau pikap. Kata “horeg” sendiri merujuk pada suara bising yang keluar dari perangkat audio dengan daya hingga ribuan watt.
Kendaraan dengan sound horeg biasanya digunakan dalam konvoi, acara hajatan, atau sekadar pamer kekuatan audio. Sayangnya, meski dianggap hiburan, praktik ini kerap menimbulkan gangguan ketertiban umum karena volume suara yang terlalu keras.
Aturan Hukum Tentang Sound Horeg
Fenomena ini sebenarnya tidak luput dari perhatian hukum. Berdasarkan Pasal 285 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penggunaan perlengkapan kendaraan yang tidak sesuai standar dapat dikenakan sanksi.
Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 juga menegaskan batas kebisingan maksimal untuk kendaraan bermotor. Kendaraan yang memasang sound horeg berdaya besar jelas melampaui ambang batas ini.
Menurut pakar hukum transportasi, Dr. R. Widodo dari Universitas Brawijaya, pelanggaran aturan terkait kebisingan dapat berujung pada sanksi tilang hingga penyitaan kendaraan. Hal ini membuktikan bahwa fenomena sound horeg bukan hanya sekadar gaya hidup, tapi juga berpotensi melanggar hukum.
Dampak Kesehatan Akibat Sound Horeg
Selain sisi hukum, sound horeg juga memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan. Menurut penelitian World Health Organization (WHO, 2024), paparan suara di atas 130 dB dapat memicu gangguan pendengaran permanen.
Dokter spesialis THT dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dr. Satria Nugraha, menjelaskan bahwa kebiasaan berada di dekat sumber suara ekstrem seperti sound horeg meningkatkan risiko tinnitus (denging kronis di telinga) dan kehilangan pendengaran secara bertahap.
Efek kesehatan ini seringkali tidak disadari oleh para penggemar sound horeg. Padahal, kerusakan pendengaran bersifat irreversibel, artinya tidak bisa sembuh meskipun paparan suara berhenti.
Perspektif Sosial dari Fenomena Sound Horeg
Bagi sebagian komunitas, sound horeg dianggap sebagai bentuk ekspresi budaya dan hiburan alternatif. Konvoi truk dengan speaker raksasa sering menarik perhatian warga dan menjadi hiburan gratis di jalanan.
Namun, dari sisi masyarakat umum, suara bising yang berlebihan justru dianggap mengganggu ketenangan lingkungan. Banyak warga yang melaporkan ketidaknyamanan, terutama saat konvoi melewati pemukiman pada malam hari atau dini hari.
Fenomena ini memperlihatkan adanya benturan antara kebebasan berekspresi dan hak masyarakat atas ketenangan hidup.
Polisi dan Razia Sound Horeg
Pihak kepolisian sudah lama melakukan langkah tegas terhadap fenomena ini. Misalnya, pada April 2025 lalu, Polres Blitar menyita 15 truk sound horeg dalam operasi penertiban. Polisi menilai bahwa kendaraan tersebut melanggar aturan lalu lintas sekaligus menimbulkan gangguan ketertiban.
Operasi serupa juga dilakukan di Malang, Kediri, dan sejumlah kota lainnya. Bahkan, saat sahur Ramadan, polisi kerap melakukan razia sound Horeg untuk memastikan masyarakat tetap merasa aman dan nyaman.
Langkah ini bukan hanya soal ketertiban, tapi juga bagian dari pendidikan hukum kepada masyarakat bahwa sound horeg tidak bisa dibiarkan tanpa aturan.
Potensi Sanksi Hukum bagi Pengguna Sound Horeg
Pengguna sound horeg yang melanggar aturan berpotensi terkena sanksi tilang dengan denda ratusan ribu rupiah. Tidak hanya itu, kendaraan yang dimodifikasi dengan sound system berdaya besar bisa disita untuk sementara waktu.
Dalam kasus tertentu, jika sound horeg terbukti mengganggu ketertiban umum atau menyebabkan kecelakaan lalu lintas, pemilik kendaraan bisa dijerat dengan pasal pidana tambahan. Hal ini semakin menegaskan bahwa fenomena ini memiliki konsekuensi hukum serius.
Suara Ahli: Antara Budaya dan Regulasi
Menurut Prof. Hendra Wijaya, pakar sosiologi dari Universitas Negeri Malang, sound horeg tidak bisa hanya dilihat dari kacamata hukum. Fenomena ini juga mencerminkan budaya jalanan dan bentuk komunitas anak muda yang mencari identitas.
Namun, menurutnya, budaya ini perlu diarahkan agar tidak berbenturan dengan hukum dan kesehatan masyarakat. Salah satu solusi yang ia ajukan adalah membuat event resmi sound system di ruang publik tertentu dengan regulasi jelas.
Upaya Solusi: Edukasi dan Regulasi
Fenomena sound horeg tidak bisa diberantas hanya dengan razia. Dibutuhkan kombinasi antara edukasi masyarakat, penegakan hukum yang konsisten, dan penyediaan ruang ekspresi legal bagi komunitas sound system.
Pemerintah daerah bisa mengadakan lomba sound system resmi di lapangan terbuka dengan standar kebisingan tertentu. Dengan begitu, hobi penggemar sound horeg tetap tersalurkan tanpa melanggar hukum atau membahayakan kesehatan orang lain.