Balada Sound Horeg: Antara Hiburan Jalanan dan Pertarungan Budaya Populer
![]() |
| suara jedag Horeg |
Artikel ini ditulis oleh [Nama Anda], seorang jurnalis independen yang sejak 2015 menyoroti isu sosial dan budaya populer di ruang publik Indonesia. Penulisan ini berdasarkan riset literatur, pengamatan langsung di beberapa acara jalanan, serta wawancara singkat dengan warga yang tinggal di sekitar lokasi event. Artikel ini hadir untuk membantu pembaca memahami sound Horeg tidak sekadar sebagai hiburan jalanan, melainkan fenomena budaya yang mencerminkan ekspresi anak muda, konflik sosial, hingga wacana pengaturan ruang publik.
Sound Horeg Sebagai Fenomena Sosial
Sound Horeg, yang populer disebut “pesta jedag-jedug jalanan”, menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini muncul dari komunitas anak muda yang meramu musik elektronik, bass tebal, dan beat menghentak di ruang terbuka. Bagi sebagian orang, sound Horeg adalah bentuk kebebasan berekspresi sekaligus alternatif hiburan murah. Namun bagi pihak lain, ia dianggap mengganggu ketenangan, menimbulkan kebisingan, bahkan memicu gesekan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana musik bukan hanya soal seni, tetapi juga simbol identitas kelompok. Anak muda mengekspresikan diri melalui irama keras, lampu warna-warni, dan kebersamaan dalam keramaian. Mereka membentuk ekosistem budaya populer yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi audio murah dan viralitas media sosial.
Perspektif Budaya: Dari Kitsch hingga Identitas Generasi
Dalam studi budaya, sound Horeg bisa dilihat sebagai wujud kitsch, yaitu bentuk seni atau hiburan yang dianggap “rendah” atau “murahan” oleh kalangan mapan, namun justru populer di akar rumput. Sama seperti musik dangdut koplo atau tayangan televisi jalanan, sound Horeg menempati ruang yang sering dipandang sebelah mata.
Namun jika ditelaah lebih jauh, sound Horeg menjadi identitas generasi muda di desa maupun kota kecil yang ingin menunjukkan eksistensi mereka. Dentuman bass keras, tarian bebas, hingga gaya berpakaian menjadi simbol perlawanan terhadap norma konservatif. Di sisi lain, muncul resistensi dari masyarakat yang menganggapnya gangguan ketertiban.
Hiburan atau Ancaman? Pro-Kontra di Tengah Masyarakat
Bagi para pelaku dan penikmatnya, sound Horeg adalah hiburan jalanan yang mempersatukan. Anak muda dari berbagai latar belakang bisa berkumpul, menari, dan melupakan beban hidup sejenak. Biaya yang murah membuatnya inklusif, jauh lebih ramah bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Namun, bagi sebagian warga sekitar, suara menggelegar hingga dini hari dianggap meresahkan. Ada laporan warga yang sulit tidur, aktivitas ibadah terganggu, hingga pertengkaran antar kelompok karena perebutan lokasi acara. Pemerintah daerah pun sering kali berada dalam posisi dilematis: melarang demi ketertiban, atau membiarkan demi kebebasan berekspresi.
Negara dan Warga: Dua Pandangan yang Bertabrakan
Menariknya, beberapa pejabat pemerintah justru mengapresiasi sound Horeg sebagai bagian dari “budaya rakyat”. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk kreativitas generasi muda. Bahkan ada wacana menjadikan sound Horeg sebagai bagian dari festival tahunan.
Namun di sisi lain, warga sekitar lokasi acara sering menganggapnya sebagai “polusi suara”. Kontras ini menunjukkan adanya jarak antara pandangan pengambil kebijakan dan pengalaman nyata masyarakat. Inilah yang menjadikan fenomena sound Horeg semakin kompleks: ia bukan sekadar musik keras, tetapi juga medan tarik-menarik kepentingan sosial.
Media Sosial dan Viralnya Suara Jedag Horeg
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Video TikTok, Instagram Reels, hingga YouTube menjadi medium penyebaran sound Horeg ke khalayak luas. Dari sinilah muncul istilah suara jedag Horeg yang mendeskripsikan dentuman keras, repetitif, dan memabukkan.
Bagi kreator konten, viralnya suara ini adalah peluang: membuat remix, tarian, atau bahkan meme yang cepat menyebar. Namun viralitas ini juga memperbesar stigma: semakin banyak orang yang menganggap sound Horeg sebagai simbol “kebisingan massal” ketimbang kreativitas.
Dampak pada Ruang Publik dan Kehidupan Sosial
Sound Horeg menunjukkan bagaimana ruang publik di Indonesia masih diperebutkan. Jalanan, lapangan, hingga pinggiran desa menjadi arena pertunjukan. Tidak ada tiket, tidak ada panggung resmi, semua bersifat spontan. Hal ini menegaskan adanya kekosongan ruang ekspresi formal bagi anak muda.
Dampaknya, terjadi gesekan antar kelompok. Ada yang ingin mempertahankan kebebasan, ada yang menuntut keteraturan. Dalam beberapa kasus, aparat keamanan turun tangan membubarkan acara, menimbulkan bentrokan kecil. Situasi ini menggambarkan betapa rapuhnya batas antara hiburan rakyat dan ketertiban umum.
Dari Jalanan ke Festival Resmi: Masa Depan Sound Horeg?
Jika dikelola dengan baik, sound Horeg sebenarnya bisa menjadi atraksi budaya populer yang positif. Alih-alih melarang, pemerintah daerah dapat mengemasnya dalam bentuk festival resmi dengan pengaturan jam, lokasi, dan volume. Dengan begitu, energi anak muda tetap tersalurkan, warga sekitar tidak terganggu, dan ruang publik lebih aman.
Beberapa komunitas musik bahkan mulai mendorong kolaborasi antara sound Horeg dengan genre lain, seperti dangdut koplo atau hip-hop lokal. Ini membuka peluang lahirnya subkultur baru yang tidak hanya kuat di akar rumput, tapi juga punya daya tarik ekonomi.
Menggali Lebih Dalam: Mengapa Kita Perlu Bicara Soal Sound Horeg
Fenomena ini penting dibicarakan karena menyangkut keseimbangan antara kebebasan berekspresi, hak warga untuk tenang, dan dinamika budaya populer. Mengabaikan sound Horeg berarti mengabaikan suara generasi muda yang sedang mencari bentuk ekspresi.
Di satu sisi, ia merepresentasikan kebisingan. Namun di sisi lain, ia adalah cermin keresahan, kreativitas, dan kebutuhan untuk diakui. Dengan pendekatan yang bijak, sound Horeg bisa menjadi ruang kolaborasi, bukan sekadar sumber konflik.
